Sekilas kulihat sosok bayanganmu,
Cukup tiga detikku, tuk membuatmu menjadi
bagian hatiku…
Ku lepaskan raguku dan segala bimbangku,
Melihat dirimu, detak jantungku…
Ku berdiam memakai setelan biruku,
menyelimuti diriku, membisu melihat awan kelabu…
Seakan dunia berteriak menangis, membasahi
raga dan jiwaku,
Ku lipat tanganku ke dalam sakuku,
Berdebar cepat hatiku mengetahui kau di
sampingku…
Ironis hidupku, cerita dongengku,
Kau tak mengenalku, demikian juga diriku…
Bagaimana ku suka padamu, tak terbesit
jawaban dalam benakku,
Senyum sunggingku, ketika kau berada dekat
denganku…
Menunggu waktu di stasiun kereta, seperti
biasa adanya…
Melipat tanganku, melihat ke arah berbeda,
bagai sebuah klise drama…
Ku yang selalu memperhatikan gerak gerikmu,
seakan memandang ke atas, apa gerangan yang ada…
Ku tadahkan wajahku, kembali melihat awan
kelabu, lengkapi hatiku, membasahi jiwaku…
Ku membasahi bibirku, menyampingkan kedua
tanganku,
Berharap kau melihatku, merasakan hal yang
sama seperti diriku…
Hari ke hari tak pernah sirna rasaku pada
dirimu,
Semakin dalam ku merasakanmu, berjuta
kupu-kupu seakan merasuki hatiku…
Sinar rembulan tak pernah sebinar hari itu,
Ku lihat dirimu, sampai binaran bola
matamu…
Cahaya mu yang terpantul dalam binaran
jendela kereta itu,
Dekapan hangat matamu, membuat luluh
hatiku…
Pernahkah kau merasakan cepatnya debaran
hatimu?
Ku rasa ini tak wajar, setiap kali ku lihat
dirimu…
Pernahkah kau tersenyum lebar tak bisa
mengendalikan raut wajahmu?
Ku rasa ku tak normal, setiap kali ku lihat
senyumanmu…
Aku tahu ini gila, ku bahkan tak pernah
berbicara padamu…
Aku tahu ini gila, kau bahkan seakan tak
pernah mengetahui keberadaanku…
Tapi apa geranganku, peri cinta memanahkan
panah yang salah ke dalam hatiku…
Yang kini ku rasa hanyalah dirimu, yang ada
di biji mataku hingga lubuk hatiku sampai seluruh bagian hidupku hanyalah
sungguh dirimu…
Waktu bergilir tak membuatku ragu,
Tetap ku suka keberdaanmu ketika kau di
sampingku…
Sering ku mainkan melodi cinta di dalam
benakku,
Harapku dikau dan diriku dapat menjadi
lebih dekat dari pada hari itu…
Tangisan bumi kembali membasahi raga dan
jiwaku,
Ku lipat tanganku, merapikan rambutku…
Melihat kau tak ada di sekitarku,
Hatiku takut bercampur bimbang, menunggu
kedatanganmu…
…
12 Januari, cukup pada hari itu,
Buat hatiku hancur berkeping-keping melihat
ketiadaanmu…
Tak mampu aku menahan amarah dan sedihku,
Kenapa dirimu bukanlah diriku…
Apa gerangan dunia membeci aku?
Amarah menyeliputi hatiku, ku bahkan tak
sempat tuk katakan salam pembukaku…
Apa takdir sungguh mengenyampingkanku?
Tak taukah, ku sungguh menyukainya, sedikit
lagi, padahal ku hanya butuh sedikit lagi dari waktu itu…
Diam membisu, bagaikan patung, mata
kosongku…
Ku lihat buku diari sosok orang itu,
tangisan air mataku kini membasahi duniaku…
…
“Sungguh tidakkah aneh bagaimana dunia
mempermainkan kita?”
“Bagaimana bisa ku rasakan cinta saat ku
bahkan tak pernah menyapanya?”
“Lihatlah diriku, apa yang bisa ku tawarkan
untuknya?”
“Hatiku gundah, apa lagi yang bisa
kuperbuat?”
“12 Januari, hari yang ku tunggu-tunggu…”
“Menanti hari ini, sekian abad rasanya ku
siapkan hatiku untuknya.”
“ Ku janji pada awan kelabu, ku akan menyapanya
di stasiun itu.”
“Sungguh ku suka padanya, sang perempuan
dengan setelan biru itu, yang selalu menadah ke atas langit, yang selalu
kuperhatikan, dia seakan memainkan senandung melodi cinta dalam benaknya, yang
buatku semakin jatuh cinta padanya…”
…
Air deras mengalir dari ujung bilik jendela
hatiku,
Tak mampu ku untuk menampung rasa sesak
dadaku…
Cukup bertahun-bertahun ku persiapkan
hatiku,
Sungguh dunia, tak bisakah kau menunggu
waktu?
Aku diam membisu, menatap awan kelabu,
Menadahkan kepalaku, mengharapkan tangisan
dunia waktu itu, menenggelamkanku ke dalam alam mimpiku, jauh ke dalam bilik
hati sosok bayangan dirinya dan diriku…